Pendidikan Karakter: Antara Nilai dan Menjadi Cerdas
Membangun komunikasi anak & orang
tua
Adalah
sebuah kebanggaan jika anak-anak kita tumbuh menjadi anak benar, cerdas, dan
berprestasi. Sudah cerdas, sekolah di sekolah favorit lagi. Semakin genaplah kegembiraan
orang tua. Jangan heran jika kemudian banyak orang tua memaksa anaknya untuk
menjadi cerdas dengan memasukkan anak-anak ke berbagai tempat bimbingan
belajar. Anak dikarbit sedemikian rupa untuk memuaskan orang tua. Kadang, orang
tua lupa bahwa anak memiliki fase-fase pertumbuhan dalam diri anak.
Salah
satu indikasi atau alat ukur kecerdasan yang ada di benak hampir setiap orang
tua adalah nilai. Setiap akhir semester, yang diperhatikan orang tua adalah
raport sang anak. Apakah ada nilai yang turun atau tidak. Kalau nilainya naik,
berlimpahlah hadiah untuk si anak. Sebaliknya, ketika nilai turun,
bersiap-siaplah si anak menerima sanksi dari orang tuanya. Rupa-rupanya puaslah
orang tua melihat perkembangan anaknya dari nilai yang didapatkan di sekolah.
Atas situasi ini, anak sering berada dalam dilema: sekolah untuk mendapatkan
kecerdasan atau nilai. Tidak mengherankan jika kemudian cara-cara tidak sehat
ditempuh oleh anak [minimal nyontek] demi memuaskan orang tua.
Sekolah
memang memiliki peranan penting dalam usaha pencerdasan. Tentu guru ada di
dalamnya. Carut marutnya sistem pendidikan mau tidak mau menyeret sekolah pada
penyempitan makna pendidikan. Pendidikan semakin bergeser pada proyek jangka
pendek: kelulusan. Kecurangan-kecurangan UAN sering terjadi demi target
kelulusan dan prestise sekolah. Pada saat kritis, nilai anak-anak diangkat
sedemikian rupa untuk menolong anak dari kemungkinan tidak lulus dikarenakan
nilai akhirnya jeblok. Apakah faktanya memang demikian? Nilai yang berupa
angka-angka telah menggeser tujuan utama pendidikan.
Biarkan anak tumbuh menurut porsinya
Haruskah
pendidikan dinilai dengan angka? Ada satu yang menurut saya tidak bisa dinilai
dengan angka, yaitu pendidikan karakter. Mengharap pendidikan karakter
diajarkan di sekolah tampaknya hanya menjadi harapan kosong. Sangat sedikitlah
sekolah yang memberikan menu tambahan pendidikan karakter ini untuk anak
didiknya. Lalu siapa yang harus memberikan dan mengajarka pendidikan orang tua.
Tegas
saya mengatakan orang tua. Adalah salah ketika orang tua menyerahkan sepenuhnya
tanggung jawab mendidik anak ke sekolah atau ke tempat-tempat bimbingan
belajar. Pendidikan anak, termasuk mendidik, adalah tanggung jawab orang tua.
Tugas dan tanggung jawab ini tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain.
Sementara orang tua menjadi pendidik pertama dan utama, keluarga menjadi tempat
sekolahnya. Mungkin ada orang tua yang berdalih banyaknya kesibukan sehinggga
merasa tidak punya waktu untuk mendidik anak. Kesibukan pekerjaan telah menyita
banyak waktu. “Pagi sampai malam saya bekerja. Itu semua demi anak-anak.” Itu
mungkin menjadi pembenarannya. Ya kalau tidak mau memberi tempat untuk mendidik
anak, kenapa punya anak? Kalau tidak mau susah, ya jangan punya anak. Puluhan
debat kusir bisa dilontarkan. Masing-masing untuk membenarkan posisinya. Tapi
persoalannya adalah bahwa pendidik pertama dan utama anak adalah orang tua.
Memberi ruang untuk anak
Dalam
sebuah perjalanan, saya disadarkan bahwa pendidikan karakter bisa dilakukan
kapan pun dan di mana pun. Dengan mata kepala saya sendiri, saya menyaksikan
seorang ibu menerapkan pola pendidikan karakter itu dalam sebuah mobil yang
menghantar perjalanan kami. Pendidikan karakter bukan soal bagaimana anak
tunduk diam pada nasehat atau kata-kata orang tua. Pendidikan karakter mengajak
anak untuk berpikir kritis, membuat analisa sendiri, dan kemudian membuat
sebuah keputusan. Ambil contoh begini. Ketika si ibu menjelaskan acara yang
akan dibuatnya, ia kemudian bertanya kepada masing anak apa yang akan dilakukannya.
Setelah masing-masing anak mengatakan apa yang akan dilakukan, barulah si ibu
ini memberikan syaratnya. Sementara ibu akan makan siang, anak-anak memilih
untuk bermain play station. Syarat yang diajukan ibu itu adalah waktunya
tidak boleh lebih dari dua jam. Sebuah pertanyaan menggelitik dilontarkan ibu
itu: deal? Artinya syarat yang diajukan bukan sebuah keputusan. Syarat
itu masih terbuka untuk didiskusikan. Setelah sepakat, keputusan itu pun
dilakukan. Masih ada contoh lain lagi. Dalam perjalanan itu, si anak
mengucapkan kata yang kurang sopan. Bukan marah yang keluar. Tetapi sebuah
pertanyaan: apakah kata itu baik atau tidak. Anak diajak untuk membuat
penilaian sendiri atas kata yang telah diucapkannya sendiri. Ketika si anak
sadar bahwa kata itu tidak baik, bukan telunjuk yang terarah kepada si anak. Si
ibu masih mengajak anak untuk berdiskusi: “kalau tidak baik, kenapa
diucapkan?”. Akhirnya kata maaf yang keluar dari mulut anak itu. Ia sadar bahwa
ia telah keliru. Kesadaran itu muncul dari buah pemikirannya, bukan karena
dimarahi oleh orang tuanya.
Sebuah
pola pendewasaan yang sederhana dalam pendidikan karakter telah dimulai. Dalam
peristiwa riil itu, semakin nyata bahwa pendidikan karakter bisa mengambil
tempat di mana pun dan kapan pun. Bahkan, pendidikan itu tanpa harus menyita
banyak waktu. Saat-saat kebersamaan antara orang tua dan anak dapat dipakai
menjadi medan penanaman nilai-nilai tanpa harus memunculkan arogansi orang tua.
Dialektika yang terbangun antara anak-orang tua akan semakin mengembangkan
anak. Dengan demikian, pendidikan mendapat makna yang sesungguhnya.