Jumat, 14 Desember 2012

Pendidikan Karakter: Antara Nilai dan Menjadi Cerdas

Pendidikan Karakter: Antara Nilai dan Menjadi Cerdas
Membangun komunikasi anak & orang tua
Adalah sebuah kebanggaan jika anak-anak kita tumbuh menjadi anak benar, cerdas, dan berprestasi. Sudah cerdas, sekolah di sekolah favorit lagi. Semakin genaplah kegembiraan orang tua. Jangan heran jika kemudian banyak orang tua memaksa anaknya untuk menjadi cerdas dengan memasukkan anak-anak ke berbagai tempat bimbingan belajar. Anak dikarbit sedemikian rupa untuk memuaskan orang tua. Kadang, orang tua lupa bahwa anak memiliki fase-fase pertumbuhan dalam diri anak.
Salah satu indikasi atau alat ukur kecerdasan yang ada di benak hampir setiap orang tua adalah nilai. Setiap akhir semester, yang diperhatikan orang tua adalah raport sang anak. Apakah ada nilai yang turun atau tidak. Kalau nilainya naik, berlimpahlah hadiah untuk si anak. Sebaliknya, ketika nilai turun, bersiap-siaplah si anak menerima sanksi dari orang tuanya. Rupa-rupanya puaslah orang tua melihat perkembangan anaknya dari nilai yang didapatkan di sekolah. Atas situasi ini, anak sering berada dalam dilema: sekolah untuk mendapatkan kecerdasan atau nilai. Tidak mengherankan jika kemudian cara-cara tidak sehat ditempuh oleh anak [minimal nyontek] demi memuaskan orang tua.
Sekolah memang memiliki peranan penting dalam usaha pencerdasan. Tentu guru ada di dalamnya. Carut marutnya sistem pendidikan mau tidak mau menyeret sekolah pada penyempitan makna pendidikan. Pendidikan semakin bergeser pada proyek jangka pendek: kelulusan. Kecurangan-kecurangan UAN sering terjadi demi target kelulusan dan prestise sekolah. Pada saat kritis, nilai anak-anak diangkat sedemikian rupa untuk menolong anak dari kemungkinan tidak lulus dikarenakan nilai akhirnya jeblok. Apakah faktanya memang demikian? Nilai yang berupa angka-angka telah menggeser tujuan utama pendidikan.

Biarkan anak tumbuh menurut porsinya
Haruskah pendidikan dinilai dengan angka? Ada satu yang menurut saya tidak bisa dinilai dengan angka, yaitu pendidikan karakter. Mengharap pendidikan karakter diajarkan di sekolah tampaknya hanya menjadi harapan kosong. Sangat sedikitlah sekolah yang memberikan menu tambahan pendidikan karakter ini untuk anak didiknya. Lalu siapa yang harus memberikan dan mengajarka pendidikan orang tua.
Tegas saya mengatakan orang tua. Adalah salah ketika orang tua menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak ke sekolah atau ke tempat-tempat bimbingan belajar. Pendidikan anak, termasuk mendidik, adalah tanggung jawab orang tua. Tugas dan tanggung jawab ini tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Sementara orang tua menjadi pendidik pertama dan utama, keluarga menjadi tempat sekolahnya. Mungkin ada orang tua yang berdalih banyaknya kesibukan sehinggga merasa tidak punya waktu untuk mendidik anak. Kesibukan pekerjaan telah menyita banyak waktu. “Pagi sampai malam saya bekerja. Itu semua demi anak-anak.” Itu mungkin menjadi pembenarannya. Ya kalau tidak mau memberi tempat untuk mendidik anak, kenapa punya anak? Kalau tidak mau susah, ya jangan punya anak. Puluhan debat kusir bisa dilontarkan. Masing-masing untuk membenarkan posisinya. Tapi persoalannya adalah bahwa pendidik pertama dan utama anak adalah orang tua.

Memberi ruang untuk anak
Dalam sebuah perjalanan, saya disadarkan bahwa pendidikan karakter bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun. Dengan mata kepala saya sendiri, saya menyaksikan seorang ibu menerapkan pola pendidikan karakter itu dalam sebuah mobil yang menghantar perjalanan kami. Pendidikan karakter bukan soal bagaimana anak tunduk diam pada nasehat atau kata-kata orang tua. Pendidikan karakter mengajak anak untuk berpikir kritis, membuat analisa sendiri, dan kemudian membuat sebuah keputusan. Ambil contoh begini. Ketika si ibu menjelaskan acara yang akan dibuatnya, ia kemudian bertanya kepada masing anak apa yang akan dilakukannya. Setelah masing-masing anak mengatakan apa yang akan dilakukan, barulah si ibu ini memberikan syaratnya. Sementara ibu akan makan siang, anak-anak memilih untuk bermain play station. Syarat yang diajukan ibu itu adalah waktunya tidak boleh lebih dari dua jam. Sebuah pertanyaan menggelitik dilontarkan ibu itu: deal? Artinya syarat yang diajukan bukan sebuah keputusan. Syarat itu masih terbuka untuk didiskusikan. Setelah sepakat, keputusan itu pun dilakukan. Masih ada contoh lain lagi. Dalam perjalanan itu, si anak mengucapkan kata yang kurang sopan. Bukan marah yang keluar. Tetapi sebuah pertanyaan: apakah kata itu baik atau tidak. Anak diajak untuk membuat penilaian sendiri atas kata yang telah diucapkannya sendiri. Ketika si anak sadar bahwa kata itu tidak baik, bukan telunjuk yang terarah kepada si anak. Si ibu masih mengajak anak untuk berdiskusi: “kalau tidak baik, kenapa diucapkan?”. Akhirnya kata maaf yang keluar dari mulut anak itu. Ia sadar bahwa ia telah keliru. Kesadaran itu muncul dari buah pemikirannya, bukan karena dimarahi oleh orang tuanya.
Sebuah pola pendewasaan yang sederhana dalam pendidikan karakter telah dimulai. Dalam peristiwa riil itu, semakin nyata bahwa pendidikan karakter bisa mengambil tempat di mana pun dan kapan pun. Bahkan, pendidikan itu tanpa harus menyita banyak waktu. Saat-saat kebersamaan antara orang tua dan anak dapat dipakai menjadi medan penanaman nilai-nilai tanpa harus memunculkan arogansi orang tua. Dialektika yang terbangun antara anak-orang tua akan semakin mengembangkan anak. Dengan demikian, pendidikan mendapat makna yang sesungguhnya.